Hoaks dan Politik Identitas Masih Jadi Tantangan Penyelenggara Pemilu
LIRIKNEWS – Berita bohong atau hoaks dan politik identitas masih menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilihan umum di 2024. Terlebih dengan masifnya penggunaan media daring atau online sebagai sarana kampanye pada pesta demokrasi dua tahun mendatang.
Hal ini diutarakan oleh Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti saat Sosialisasi Pengawasan Siber dalam Pemilihan Umum 2024 yang diselenggarakan Badan Pengawas Pemilu Jawa Barat, Selasa (18/10/2022).
Menurut Ray, masifnya penggunaan media sosial oleh masyarakat utamanya tokoh politik dikarenakan biaya yang tak mahal, daya jangkau yang luas, dan apa yang dinarasikan bisa bertahan lebih lama.
“Hampir semua partai politik atau yang disebut-sebut sebagai calon presiden, hampir tak mungkin tidak memergunakan media sosial. Karena mereka yang digadang-gadang sebagai calon presiden itu meraup popularitas mereka melalui media sosial,” ujar Ray.
Ray tak menyangkal media sosial bakal menjadi sarana kampanye paling aktif pada 2024. Namun dengan segala kelebihannya tersebut, kampanye yang ada di media sosial cenderung berisikan negatif, hoaks, dan politik identitas.
“Tantangan terberat kita bukan pada negative campaign (kampanye negatif), tapi hoaks dan politik identitas. Negative campaign harusnya menjadi tradisi dan dikembang suburkan. Namun sekarang ini negative campaign cenderung menjadi hoaks, politik identitas, bahkan turun menjadi black campaign (kampanye hitam),” paparnya.
Untuk diketahui, kampanye negatif merupakan narasi yang dilakukan kelompok atau seseorang dengan mengungkap kelemahan maupun kesalahan faktual lawan politik. Sementara kampanye hitam lebih menjurus kepada fitnah atau kebohongan tentang lawan politik.
Maka itu, peran Bawaslu sangat penting guna menangkal hoaks, politik identitas dan kampanye hitam. Sehingga kampanye yang beredar ditengah masyarakat lebih banyak pesan positif dan menghilangkan hoaks maupun kampanye hitam.
“Bawaslu menjadi garda terdepan untuk bisa menjadi mata publik dalam konteks mensubstansialisasi isi kampanye yang akan datang agar lebih banyak pesan positif dan negatifnya dibanding black campaignnya, politik identitasnya, maupun hoaksnya,” cetusnya.
Ray mengaku belum ada aturan yang tegas mengenai politik identitas, hal itu membuat penyelenggara pemilu cukup sulit melakukan penindakan terkait hal tersebut. Maka itu, dirinya mendorong agar Bawaslu memiliki divisi khusus dalam menangani masalah tersebut.
“Orang menganjurkan untuk memilih sosok yang memiliki kepercayaan yang sama, itu politik identitas, tapi apakah itu dilarang atau tidak, ini yang kita belum punya definisi tegas. Karena memilih karena kepercayaan yang sama itu boleh saja dan tidak dilarang. Maka itu, saya mendorong Bawaslu memiliki desk khusus dan mulai menguatkan investigasi,” ucapnya.
Pada kesempatan sama, Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Jabar Zaki Hilmi menerangkan, pelanggaran pada pemilu bisa bersifat administratif atau pidana. Penindakan pun bisa dilakukan kepada peserta pemilu bahkan masyarakat umum.
Dia tak menepis potensi pelanggaran pemilu bakal banyak terjadi media sosial mengingat tren penggunaan yang sangat kuat hingga kini. Terlebih, media sosial dinilai efektif untuk menyampaikan pesan atau narasi kepada masyarakat.
“Pelacakan akun-akun yang bersifat anonim menjadi tantangan bagi kami. Maka itu, kita akan bekerja sama dan berkoordinasi dengan platform yang sudah ada seperti Instagram, Facebook Indonesia,” imbuhnya.
Dirinya mengutarakan, saat ini ada wilayah abu-abu antara mengeluarkan ekspresi dan menyampaikan narasi yang berkaitan dengan sosok yang menjadi bakal calon pemimpin di 2024.
”Kami menyadari adanya hambatan dalam konteks penyelenggaraan pemilu dengan penggunaan media sosial agak beda tipis. Misalnya, peserta pemilu belum ada tapi sudah muncul pandangan-pandangan atau stigma negatif orang yang baru menjadi bakal calon,” paparnya.
Zaki menyatakan, Bawaslu RI fokus terhadap kampanye yang dilakukan di media sosial. Namun pengejawantahannya masih terkendala sejumlah hal, seperti regulasi hingga sumber daya manusia.
“Untuk sekedar patroli sudah kita lakukan, seperti Facebook atau yang lainnya, mana yang bersifat pelanggaran atau bukan. Namun untuk tracking (pelacakan) masih menjadi kendala kita. Tapi pada prinsipnya kita sudah siap melakukan pengawasan dengan pengalaman di 2019,” tegasnya. (vil)
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow