Menu
Close
  • Halaman

  • Redaksi

Liriknews.com

Berita Sesuai Fakta

Gender Equity: Budaya Patriarki Menjadi Pembenaran Kekerasan Terhadap Perempuan

Gender Equity: Budaya Patriarki Menjadi Pembenaran Kekerasan Terhadap Perempuan

Smallest Font
Largest Font

LIRIKNEWS – Menurut Universal Declaration Of Human Rights – United Nation tahun 2016 Gender Equity atau kesetaraan gender adalah pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak diskriminasi berdasarkan identitas gender mereka.

Hal tersebut dikatakan, Bd.Syifa Thiari Syafutry.,S.Tr.Keb Bidan Praktisi dan Mahasiswi Magister Hukum Kesehatan UNISBA.

Kesetaraan Gender pada saat ini tidak sesulit dulu, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan pemikiran masyarakat ditambah dengan mulai banyaknya penggiat atau pejuang kesetaraan gender dan juga di dukung dengan beberapa UU dan peraturan yang berlaku.

“Namun hal itu belum sepenuhnya menghapuskan pemikiran patriarki yang melekat di dalam masyarakat dan tumbuh sebagai budaya atau kebiasaan,” ungkap Syifa, Rabu (22/3/2023).

Seperti yang dikatakan oleh Bressler dan Charles E dalam bukunya yang berjudul Literary Criticism : An Introduction To Theory and Practice 4th-ed. Pearson Education Pada tahun 2007, Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.

“Di Indonesia budaya patriarki sudah mendarah daging bahkan dimulai sejak usia anak dan dalam organisasi terkecil yaitu keluarga, dimana banyak masyarakat berprinsip bahwa laki-laki lah yang memegang kendali penuh dalam berbagai bidang,” jelasnya.

Hal ini, kata Syifa, diperkuat dengan pemahaman masyarakat yang berkaitan dengan norma budaya dan norma agama yang memiliki pandangan bahwa perempuan harus tunduk dan patuh kepada laki-laki terutama dalam kehidupan berumah tangga.

Dijelaskan Syifa, kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah yang kerap terjadi di berbagai negara, termasuk di Indonesia, maka dari itu penghapusan kekerasan perempuan menjadi perhatian dunia yang tercantum dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Developments Goals/SDGs) dalam goals kelima yaitu tentang Kesetaraan Gender.

Selain itu pada bulan Desember Tahun 1993, PBB telah mendeklarasikan tentang kekerasan terhadap perempuan, yang mengatakan bahwa, kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi yang secara historis tidak setara antara laki-laki dan perempuan yang menghasilkan dominasi dan diskriminasi oleh laki-laki terhadap perempuan dan pencegahan terhadap kemajuan perempuan.

“Sama halnya dengan segala bentuk kebijakan lain yang mempertegas bahwa Kekerasan Terhadap Perempuan merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan dengan alasan apapun,” paparnya.

Seperti UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), dan juga tertuang dalam UU No.5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam atau Tidak Manusiawi (CAT).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat setidaknya terdapat 20.050 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2022 di Indonesia.

Salah satu faktor penyebab kekerasan tersebut adalah pemahaman budaya patriarki yang sudah menjamur di masyarakat, terutama dalam kehidupan berumah tangga berdasarkan agama yang selalu membenarkan bahwa seorang istri harus patuh terhadap suami tanpa terkecuali.

“Jika tidak patuh maka suami berhak untuk memberikan pelajaran kepada istri salah satunya adalah berupa kekerasan terhadap fisik dan psikis. Padahal jika dipahami lebih dalam lagi setiap ajaran agama manapun justru menjunjung tinggi kedudukan dan kemuliaan seorang perempuan dan tidak membenarkan adanya kekerasan dalam bentuk apapun terhadap sesama manusia,” katanya.

Kekerasan terhadap perempuan baik berupa fisik, psikis maupun seksual tentunya akan sangat menimbulkan dampak kerugian yang sangat besar bagi perempuan, seperti luka fisik yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan fungsi reproduksi, kecacatan permanen dan tidak permanen, bahkan juga kematian, selain itu dapat berdampak pada psikologis seperti trauma, stress, bahkan tak jarang berujung menjadi gangguan mental yang berat.

Dampak-dampak tersebut pada akhirnya akan semakin mempengaruhi keberlangsungan kehidupan perempuan dalam waktu yang panjang.

Mengingat bahwa setiap individu memliki hak asasi manusia yang sudah melekat bahkan sejak individu itu belum lahir kedunia. Maka pola dan pemahaman masyarakat mengenai budaya patriarki harus segera dibenahi.

“Perempuan dan laki-laki harus memiliki peran yang sejajar di dalam membangun keberlangsungan kehidupan, peran sejajar yang dimaksud adalah tidak perlu harus sama, melainkan di sesuaikan, saling mengisi dan juga melengkapi kekosongan dan kekurangan, sehingga kesatuan antara laki-laki dan perempuan menjadi serasi, bukan seragam,” tandasnya.(*)

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow