Efektifitas Penerapan Aplikasi My Pertamina dalam Penyaluran Bahan Bakar Minyak Subsidi
LIRIKNEWS – Kabar yang sedang hangat dibicarakan sekarang, ialah mengenai kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Bahan Bakar Minyak merupakan salah satu sumber energi penting yang digunakan oleh masyarakat dunia.
Keberadaan bahan bakar minyak semakin lama semakin menipis bahkan pada tahun 2025 diperkirakan ketersediaan minyak bumi akan habis.
Hal tersebut dikatakan, Ketua Umum HMI Cabang Purwokerto 2021-2022, Ibnu Katsir, Minggu (3/6/2022).
“Menipisnya jumlah bahan bakar minyak mengharuskan pemerintah menaikkan harga meskipun pada kenyataannya hal tersebut memberatkan masyarakat pada umumnya,” dikatakan Ibnu.
Menurut catatan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, kata Ibnu, besaran subsidi kesehatan tahun lalu hanya Rp43,8 triliun, infrastruktur Rp125,6 triliun, bantuan sosial Rp70,9 triliun, sementara subsidi BBM menyedot dana paling besar, Rp165,2 triliun.
Oleh karena itu, latar belakang pemerintah menaikkan harga BBM ialah pengeluaran negara untuk subsidi BBM itu sendiri sudah terlalu besar sehingga diperlukan adanya pemangkasan agar dapat diaplikasikan kepada sektor lainya yang lebih nyata seperti sektor pendidikan ataupun Kesehatan.
“Kebijakan tersebut menyebabkan lunturnya kepercayaan masyarakat tentang Pemerintah yang seharusnya mensejahterakan rakyat, namun kenyataannya membuat rakyat kebingungan atas keputusan yang terkesan mendadak ini.
“Kenaikan harga terjadi pada jenis bahan bakar minyak non subsidi seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex,” ujarnya.
Sementara untuk BBM jenis Pertamax dan Pertalite, lanjut Ibnu, tidak mengalami kenaikan harga. Hal tersebut menyebabkan melonjaknya permintaan akan bahan bakar minyak jenis pertalite dan solar dengan harga yang relatif murah.
Namun, kata dia, karena terjadi selisih harga yang cukup lebar antara BBM subsidi dan non subsidi, realisasi konsumsi BBM bersubsidi oleh masyarakat melebihi kuota yang ditetapkan.
Dijelaskannya, dari kuota 23,05 juta kiloliter, konsumsi pertalite sudah mencapai 80 persen pada Mei 2022. Sementara konsumsi solar subsidi mencapai 93 persen dari total kuota 15,10 juta kiloliter.
“Karena itu, penyaluran BBM subsidi harus diatur baik dari penetapan kuota maupun segmentasi penerima. Saat ini, segmen penerima solar subsidi sudah diatur sehingga penyalurannya lebih tepat sasaran. Sedangkan segmentasi pengguna Pertalite masih terlalu luas. Studi Bank Dunia menunjukkan sekitar 72% subsidi BBM di Indonesia tidak tepat sasaran,” jelasnya.
Data itu kemudian diperkuat oleh Survei Sosial Ekonomi Nasional pada 2020 yang menemukan 80% konsumsi Pertalite lebih banyak dinikmati masyarakat mampu. Catatan pemerintah pula, penyaluran BBM subsidi jenis Pertalite per Februari 2022 sudah melebihi kuota yakni sebesar 4,258 juta kilo liter.
Untuk bahan bakar jenis solar, pemakaiannya juga mengalami kenaikan. Per April 2022 sudah melebihi 12% dari kuota yang sudah ditetapkan. Melonjaknya permintaan bahan bakar minyak jenis pertalite menyebabkan tidak meratanya penyaluran bahan bakar minyak subsidi. Berdasarkan permasalahan tersebut Pemerintah bersama PT Pertamina (Persero) mencanangkan sebuah aplikasi My Pertamina sebagai solusi pemerataan penyaluran bahan bakar minyak subsidi.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menjelaskan, penyaluran solar dan pertalite bersubsidi nantinya akan memanfaatkan layanan digital My Pertamina dengan tujuan agar pembelian terdata dan bisa dibatasi. Pelanggan nantinya akan mengisi data diri di aplikasi My Pertamina, kemudian data yang sudah masuk diverifikasi BPH Migas untuk memastikan pembeli memang pelanggan yang berhak menerima. Namun, dalam aplikasi My Pertamina tentu menimbulkan banyak pro dan kontra dari berbagai pihak.
“Problematika yang dihadapi dalam penggunaan aplikasi ini sulitnya merumuskan kriteria konsumen yang berhak membeli pertalite dan solar dengan harga subsidi. Jika nantinya pemerintah tetap akan menggunakan aplikasi ini, disarankan agar kriteria konsumen dibuat sederhana saja, misalnya pengguna BBM subsidi adalah sepeda motor dan kendaraan angkutan umum orang dan barang. Konsumen lainnya tidak diperbolehkan menggunakan BBM subsidi dan harus migrasi ke pertamax dan bio solar,” paparnya.
Keputusan dan mekanisme ini, lanjutnya, nantinya akan menimbulkan dua harga berbeda antara harga subsidi dan non subsidi. Adanya dua harga berbeda ini bisa mendorong moral hazard atau ketidakjujuran pihak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) maupun konsumen yang pada akhirnya dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kerugian.
“Masyarakat yang tinggal di pedalaman dan jauh dari jangkauan internet bakal kesulitan menerapkan kebijakan ini. Padahal mereka termasuk pihak yang berhak menerima BBM bersubsidi. Kalau tujuan Pertamina supaya penerima BBM subsidi tepat sasaran dan kuota BBM subsidi tidak jebol, maka YLKI mengusulkan agar aplikasi My Pertamina cukup dijadikan alat pendataan bukan pembelian, sebab yang menjadi akar masalah selama bertahun-tahun adalah penyaluran BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran,” ungkapnya.
Adapun bagi masyarakat yang tidak memiliki smartphone, kata dia, SPBU bisa memfasilitasi proses pendaftaran. Akses internet dan smartphone membutuhkan beberapa aspek pendukung seperti aspek ekonomi, sosial, dan teknologi komunikasi yang dipadukan.
“Masyarakat membutuhkan adanya dorongan dari segi material yang intinya wajib mempunyai smartphone perorangan dalam melakukan transaksi pembelian BBM subsidi, sehingga masyarakat yang kurang mampu dalam kepemilikan smartphone tentu berimbas pada keuangan yang dimiliki masyarakat, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya saja terkadang kesusahan apalagi dalam membeli barang yang dari segi material memiliki ekonomi yang tinggi,” terangnya.
Kemudian dari segi sosial, ungkap Ibnu, masyarakat perlu adanya wawasan terdapat teknologi, banyak masyarakat Indonesia terutama mereka yang berumur gagap teknologi, penggunaan teknologi seperti akses internet dan smartphone tidak akan mencapai efektifitas dalam pembayaran BBM, bukannya efektifitas yang dicapai, keribetan akan penggunaan aplikasi juga dapat mempengaruhi tingkat konusmsi yang ada pada penyaluran bahan bakar minyak subsidi, sehingga perlu adanya kajian ulang mengenai penerapan penggunaan aplikasi tersebut.
Dengan adanya penerapan aplikasi ini juga perlu adanya dukungan teknologi komunikasi, dimana dukungan teknologi komunikasi memberikan rauang dan kesempatan yang lebih luas bagi pemerataan penyaluran bahan bakar minyak subsidi, dengan adanya pengembangan teknologi dan komunikasi yang pesat dan merata maka dapat digunakan oleh kalangan luas masyarakat, semakin tinggi tingkat teknologi komunikasi yang dicapai maka semakin tinggi tingkat pemerataannya.
Sebuah program yang dilakukan baik oleh institut dan kelembagaan perlu adanya rencana tahap-tahapan dalam menjalankan tersebut sekaligus harus punya langkah-langkah lain jika langkah awal tidak tercapai.
Oleh karenanya dalam penerapan aplikasi My Pertamina dalam penyaluran BBM subsidi sebaiknya dikaji maupun diatur kembali terkait kebijakan maupun cara penggunaannya.
“Seperti yang kita ketahui masih banyak masyarakat yang khawatir terkait hal tersebut baik dari segi ekonomi, sosial dan teknologi komunikasi, pengkajian tersebut dilakukan guna pemberdayaan efisiensi aplikasi yang lebih efektif, dan penyaluran BBM subsisdi yang merata untuk masyarakat, dimana BBM subsidi ini perlu adanya penyaluran yang efektif bagi masyarakat yang memang membutuhkan dan mempunyai hak terhadap BBM bersubsidi,” pungkas Ibnu. (Yul)
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow